Oleh Prof Dr Tjipta Lesmana, Mantan Anggota Komisi Konstitusi
Sekitar 25 tahun yang lalu masyarakat kita diguncangkan oleh kasus ‘ijazah aspal’. Praktik beberapa universitas swasta memproduksi ijazah aspal tingkat S-1 terbongkar. Ijazahnya asli, tanda tangan rektor juga asli; tetapi pihak universitas tidak mengakuinya. Kok bisa? Ternyata, sejumlah orang dalam universitas yang memiliki sedikit kewenangan mengatur produksi dan jual-beli ijazah sarjana aspal itu. Pokoknya, meski tidak tercatat sebagai mahasiswa, Anda bisa dinyatakan lulus sarjana dengan ijazah yang ‘keren’.
Sampai hari ini, PTS-PTS yang mengeluarkan ijazah sarjana aspal masih terseok-seok namanya. Artinya, masih cukup banyak warga masyarakat yang tidak mempercayai kualitas PTS itu. Bahkan perusahaan-perusahaan swasta pun cenderung menolak pelamar kerja yang memegang ijazah dari PTS-PTS itu.
Bukan hanya ijazah S-1 yang dipalsukan, karya ilmiah untuk gelar doktor pun beberapa kali diketahui ‘palsu’. Edan! Bagaimana modus operandinya? Karya ilmiah orang lain, atau hasil penelitian mahasiswa, diakui sebagai miliknya. Seorang guru besar sebuah PTS kenamaan di Bandung belum lama berselang diketahui menulis beberapa artikel di harian Jakarta yang, setelah diusut, ternyata artikel orang bule. Semua orang merasa heran: buat apa si profesor berbuat begitu bodoh? Bukankah dia tidak butuh cum lagi? Apa yang hendak dikejar? Seorang doktor pimpinan sebuah PTS di Jakarta menjiplak karya penelitian orang lain semata-mata untuk ‘mengejar cum’ dalam rangka promosi guru besar. Perbuatan tercela ini dibongkar sendiri oleh dosen-dosen PTS ybs. Setelah diteliti kebenaran laporan staf pengajarnya, pimpinan yayasan akhirnya memecat doktor itu dari jabatannya.
Oknum polisi pun nekat membuat ‘BAP palsu’. Hal ini terjadi dalam kasus Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiba-tiba saja beredar di kalangan wartawan fotokopi BAP yang isinya menyudutkan salah satu pihak sebagai tersangka. Setelah diusut oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, ternyata BAP itu palsu. Ada orang dalam yang sengaja mengubah dan memalsukan BAP untuk tujuan tertentu.
Anda masih ingat kasus raibnya ‘ayat tembakau’ yang menghebohkan tempo hari? Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2009 sedang membahas Rancangan Undang-Undangan tentang Kesehatan. RUU Kesehatan akhirnya disahkan melalui sidang paripurna pada 14 September 2009. Belakangan diketahui bahwa naskah RUU Kesehatan yang disahkan dan yang dikirim ke Presiden RI–-melalui Menteri/Sekretaris Negara-–ternyata tidak sama. Ada 1 ayat yang secara sengaja dihilangkan pada naskah yang dikirim ke Presiden. Ayat itu berada di Pasal 113. Pada naskah aslinya, Pasal 113 terdiri atas 3 ayat. Salah satu ayat, yakni ayat (2), kemudian dihapus. Bunyi ayat yang raib itu: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang menggunakan tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif, yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.”
Tiga anggota DPR dilaporkan atas hilangnya ayat (2) Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Ketiganya adalah anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan DPR. Siapa sesungguhnya yang menghapus ayat tsb, banyak pihak sudah mengetahuinya. Yang jelas, ada paraf anggota dewan pada naskah yang dikirim ke Presiden.
Nekat, bukan, tindakan wakil rakyat ini? Untuk apa? Apa lagi kalau bukan berlatar belakang uang. Kabar burung menuding beberapa pabrik rokok mengeluarkan ratusan miliar supaya ayat (2) Pasal 113 lenyap dari UU Kesehatan!
Indonesia, rupanya, ‘negara palsu’. Dokumen apa pun bisa dengan mudah dipalsukan. Perbuatan palsu-memalsu melibatkan hampir semua profesional, termasuk wakil-wakil rakyat yang terhormat. Ya, pada zaman reformasi, tidak sedikit orang yang nekat melakukan apa saja, asal dapat fulus banyak!
Di Bekasi, polisi baru saja membongkar bisnis pemalsuan dokumen. Perbuatan ini sudah berlangsung 3 tahun. Macam-macam dokumen yang dipalsukan, antara lain KTP, akta nikah, ijazah, akta hak milik, pajak bumi dan bangunan, akta jual-beli sampai akta hak guna bangunan. Salah satu pelakunya, R, mengaku perbuatan dokumen palsu ini hanya membutuhkan waktu 30 menit sampai 3 jam. Untuk satu dokumen, mereka memungut biaya Rp25.000 sampai Rp750.000.
Awal pekan lalu saya mendapat laporan dari seorang pelamar pegawai negeri sipil (PNS) yang menjadi korban pemalsuan dokumen. Didorong oleh keinginan keras menjadi PNS, ia mengeluarkan puluhan juta rupiah. Hasilnya, ada! Ia kemudian menerima 2 (dua) lembar dokumen: Surat Ketetapan tentang NIP Pegawai, dan SK Pengangkatan Pegawai Percobaan dari sebuah instansi pemerintah daerah Jakarta Selatan. Tentu, kedua surat itu dalam bentuk fotokopi yang sepintas asli: ada kop surat, nomor surat, stempel instansi dan tanda tangan pejabat yang mengeluarkan. Tapi, setelah dicek ke Badan Kepegawaian Nasional (BKN), NIP itu ternyata tidak terdaftar di buku besar kepegawaian alias palsu.
Yang lebih ‘gila’ lagi, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun dipalsukan! Dokumen DIPA palsu itu ditemukan oleh pejabat Kementerian Keuangan. Belum diketahui pasti pihak yang melakukannya: Apakah oknum wakil rakyat di Senayan yang berkolusi dengan, pejabat Bappenas dan pejabat Kementerian Keuangan? Yang jelas, semua orang sudah tahu bahwa banyak wakil rakyat yang rupanya punya hobi untuk otak-atik anggaran demi mendapatkan komisi. Bappenas pun sejauh ini dicurigai ’sarang korupsi’, korupsi anggaran yang bakal di bahas Panitia Anggaran DPR.
Terakhir, giliran Kejaksaan Agung yang menghebohkan masyarakat hukum dengan terbongkarnya rencana tuntutan palsu. Rencana tuntutan palsu itu terkait dengan perkara Gayus Tambunan pada awal 2010 di Pengadilan Negeri Tangerang. Jaksa Cirus Sinaga disebut-sebut salah satu petinggi Kejaksaan Agung yang terlibat.
Jadi, apa lagi yang tidak dipalsukan di Republik ini? Kalau ditanya apa sebab praktik palsu-memalsu amat marak dan menghujam hampir semua instansi kita, jawabannya sederhana: karena pemerintah dan masyarakat tidak pernah serius memberangus korupsi dalam segala bentuknya. Aparat tidak berani menindak dan mengganjar dengan hukum keras kepada siapa saja yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen. Penanganan kasus raibnya ‘ayat tembakau’, misalnya, berakhir dengan mengenaskan sekali: di-SP3-kan! Cukup banyak pejabat pemerintah kita yang memegang ijazah kesarjanaan palsu, tapi aparat tidak menjeratnya. Kita lebih suka bermain-main dengan jargon. Akhirnya, korupsi menerkam kita dan mengguncang sendi-sendi negara! (mediaindonesia.com, 5/11/2010)
Sekitar 25 tahun yang lalu masyarakat kita diguncangkan oleh kasus ‘ijazah aspal’. Praktik beberapa universitas swasta memproduksi ijazah aspal tingkat S-1 terbongkar. Ijazahnya asli, tanda tangan rektor juga asli; tetapi pihak universitas tidak mengakuinya. Kok bisa? Ternyata, sejumlah orang dalam universitas yang memiliki sedikit kewenangan mengatur produksi dan jual-beli ijazah sarjana aspal itu. Pokoknya, meski tidak tercatat sebagai mahasiswa, Anda bisa dinyatakan lulus sarjana dengan ijazah yang ‘keren’.
Sampai hari ini, PTS-PTS yang mengeluarkan ijazah sarjana aspal masih terseok-seok namanya. Artinya, masih cukup banyak warga masyarakat yang tidak mempercayai kualitas PTS itu. Bahkan perusahaan-perusahaan swasta pun cenderung menolak pelamar kerja yang memegang ijazah dari PTS-PTS itu.
Bukan hanya ijazah S-1 yang dipalsukan, karya ilmiah untuk gelar doktor pun beberapa kali diketahui ‘palsu’. Edan! Bagaimana modus operandinya? Karya ilmiah orang lain, atau hasil penelitian mahasiswa, diakui sebagai miliknya. Seorang guru besar sebuah PTS kenamaan di Bandung belum lama berselang diketahui menulis beberapa artikel di harian Jakarta yang, setelah diusut, ternyata artikel orang bule. Semua orang merasa heran: buat apa si profesor berbuat begitu bodoh? Bukankah dia tidak butuh cum lagi? Apa yang hendak dikejar? Seorang doktor pimpinan sebuah PTS di Jakarta menjiplak karya penelitian orang lain semata-mata untuk ‘mengejar cum’ dalam rangka promosi guru besar. Perbuatan tercela ini dibongkar sendiri oleh dosen-dosen PTS ybs. Setelah diteliti kebenaran laporan staf pengajarnya, pimpinan yayasan akhirnya memecat doktor itu dari jabatannya.
Oknum polisi pun nekat membuat ‘BAP palsu’. Hal ini terjadi dalam kasus Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiba-tiba saja beredar di kalangan wartawan fotokopi BAP yang isinya menyudutkan salah satu pihak sebagai tersangka. Setelah diusut oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, ternyata BAP itu palsu. Ada orang dalam yang sengaja mengubah dan memalsukan BAP untuk tujuan tertentu.
Anda masih ingat kasus raibnya ‘ayat tembakau’ yang menghebohkan tempo hari? Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2009 sedang membahas Rancangan Undang-Undangan tentang Kesehatan. RUU Kesehatan akhirnya disahkan melalui sidang paripurna pada 14 September 2009. Belakangan diketahui bahwa naskah RUU Kesehatan yang disahkan dan yang dikirim ke Presiden RI–-melalui Menteri/Sekretaris Negara-–ternyata tidak sama. Ada 1 ayat yang secara sengaja dihilangkan pada naskah yang dikirim ke Presiden. Ayat itu berada di Pasal 113. Pada naskah aslinya, Pasal 113 terdiri atas 3 ayat. Salah satu ayat, yakni ayat (2), kemudian dihapus. Bunyi ayat yang raib itu: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang menggunakan tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif, yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.”
Tiga anggota DPR dilaporkan atas hilangnya ayat (2) Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Ketiganya adalah anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan DPR. Siapa sesungguhnya yang menghapus ayat tsb, banyak pihak sudah mengetahuinya. Yang jelas, ada paraf anggota dewan pada naskah yang dikirim ke Presiden.
Nekat, bukan, tindakan wakil rakyat ini? Untuk apa? Apa lagi kalau bukan berlatar belakang uang. Kabar burung menuding beberapa pabrik rokok mengeluarkan ratusan miliar supaya ayat (2) Pasal 113 lenyap dari UU Kesehatan!
Indonesia, rupanya, ‘negara palsu’. Dokumen apa pun bisa dengan mudah dipalsukan. Perbuatan palsu-memalsu melibatkan hampir semua profesional, termasuk wakil-wakil rakyat yang terhormat. Ya, pada zaman reformasi, tidak sedikit orang yang nekat melakukan apa saja, asal dapat fulus banyak!
Di Bekasi, polisi baru saja membongkar bisnis pemalsuan dokumen. Perbuatan ini sudah berlangsung 3 tahun. Macam-macam dokumen yang dipalsukan, antara lain KTP, akta nikah, ijazah, akta hak milik, pajak bumi dan bangunan, akta jual-beli sampai akta hak guna bangunan. Salah satu pelakunya, R, mengaku perbuatan dokumen palsu ini hanya membutuhkan waktu 30 menit sampai 3 jam. Untuk satu dokumen, mereka memungut biaya Rp25.000 sampai Rp750.000.
Awal pekan lalu saya mendapat laporan dari seorang pelamar pegawai negeri sipil (PNS) yang menjadi korban pemalsuan dokumen. Didorong oleh keinginan keras menjadi PNS, ia mengeluarkan puluhan juta rupiah. Hasilnya, ada! Ia kemudian menerima 2 (dua) lembar dokumen: Surat Ketetapan tentang NIP Pegawai, dan SK Pengangkatan Pegawai Percobaan dari sebuah instansi pemerintah daerah Jakarta Selatan. Tentu, kedua surat itu dalam bentuk fotokopi yang sepintas asli: ada kop surat, nomor surat, stempel instansi dan tanda tangan pejabat yang mengeluarkan. Tapi, setelah dicek ke Badan Kepegawaian Nasional (BKN), NIP itu ternyata tidak terdaftar di buku besar kepegawaian alias palsu.
Yang lebih ‘gila’ lagi, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun dipalsukan! Dokumen DIPA palsu itu ditemukan oleh pejabat Kementerian Keuangan. Belum diketahui pasti pihak yang melakukannya: Apakah oknum wakil rakyat di Senayan yang berkolusi dengan, pejabat Bappenas dan pejabat Kementerian Keuangan? Yang jelas, semua orang sudah tahu bahwa banyak wakil rakyat yang rupanya punya hobi untuk otak-atik anggaran demi mendapatkan komisi. Bappenas pun sejauh ini dicurigai ’sarang korupsi’, korupsi anggaran yang bakal di bahas Panitia Anggaran DPR.
Terakhir, giliran Kejaksaan Agung yang menghebohkan masyarakat hukum dengan terbongkarnya rencana tuntutan palsu. Rencana tuntutan palsu itu terkait dengan perkara Gayus Tambunan pada awal 2010 di Pengadilan Negeri Tangerang. Jaksa Cirus Sinaga disebut-sebut salah satu petinggi Kejaksaan Agung yang terlibat.
Jadi, apa lagi yang tidak dipalsukan di Republik ini? Kalau ditanya apa sebab praktik palsu-memalsu amat marak dan menghujam hampir semua instansi kita, jawabannya sederhana: karena pemerintah dan masyarakat tidak pernah serius memberangus korupsi dalam segala bentuknya. Aparat tidak berani menindak dan mengganjar dengan hukum keras kepada siapa saja yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen. Penanganan kasus raibnya ‘ayat tembakau’, misalnya, berakhir dengan mengenaskan sekali: di-SP3-kan! Cukup banyak pejabat pemerintah kita yang memegang ijazah kesarjanaan palsu, tapi aparat tidak menjeratnya. Kita lebih suka bermain-main dengan jargon. Akhirnya, korupsi menerkam kita dan mengguncang sendi-sendi negara! (mediaindonesia.com, 5/11/2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar