Arsip Blog

Jumat, 07 Januari 2011

Ironi Semangat Naturalisasi WNI



Irfan Bachdim (22) dan Kim Jeffrie Kurniawan (20) sungguh beruntung. Meski lahir dan tinggal di luar negeri, bermodalkan salah satu orangtuanya berasal dari Indonesia, keduanya begitu mudah mendapatkan status warga negara Indonesia. Kemudahan yang diperoleh kedua pemain sepak bola ini seiring dengan ambisi pemerintah mendongkrak prestasi sepak bola Indonesia melalui program naturalisasi.

”Jujur, saya iri dan sakit hati melihat Irfan dan Kim. Mereka begitu gampang mendapatkan status WNI. Sebaliknya, saya yang lahir dan besar di Indonesia tidak mudah mendapatkan status WNI,” kata Jong (43), warga Sungai Pangeran, Kecamatan Ilir Timur, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Lelaki keturunan Tionghoa itu mengaku dirinya termasuk generasi keempat dari keluarganya yang lahir dan tinggal di Palembang. Meski demikian, keluarga mereka tetap dikelompokkan sebagai warga negara asing (WNA).

Sejak lahir, mereka hanya dibekali surat keterangan lahir yang diterbitkan kantor kelurahan atau desa setempat. Mereka juga dilarang memiliki kartu tanda penduduk (KTP), tetapi hanya surat keterangan penduduk yang berlaku enam bulan, lalu diperpanjang lagi.

Jika ingin memiliki surat izin mengemudi (SIM), mereka terpaksa menyogok petugas kantor kelurahan atau desa guna menerbitkan KTP. Bermodalkan KTP yang asli tetapi palsu itu, mereka mendekati petugas kepolisian untuk menerbitkan SIM.

Kalau petugas kepolisian mensyaratkan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), otomatis pengurusan SIM pun batal. ”Kalau ketemu petugas polisi yang tak meminta SBKRI, berarti sebuah keberuntungan. SIM pasti bisa didapatkan,” ujar Rahmat (40), warga 16 Ilir, Kota Palembang, yang juga belum berstatus WNI.

Berstatus WNA juga kadang sulit diterima melanjutkan kuliah sebab ada perguruan tinggi mensyaratkan akta kelahiran. ”Saya gagal melanjutkan kuliah karena tidak punya akta kelahiran. Mau melamar kerja pun persyaratan itu diminta lagi. Saya pun patah semangat sehingga hingga sekarang hanya menjadi pekerja kasar,” ungkap Jong.

Jong mengaku, sejak gagal diterima kuliah tahun 1986, dirinya berupaya mengurus status WNI. Akan tetapi, biayanya disebut-sebut mencapai jutaan rupiah dan melewati prosedur berbelit dan lama. Pengurusan WNI pun selalu tertunda.

Pengurusan status WNI baru dilakukan lagi awal Oktober 2010 setelah mengetahui Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) bisa membantu mengurusinya. Dia pun melengkapi semua persyaratan. Dokumen Jong bersama 19 orang warga Tionghoa lainnya asal Sumsel telah diusulkan ke Kantor Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Ketua Umum PSMTI Pauzi Thamrin mengatakan, banyak masyarakat Tionghoa di Sumsel masih berstatus WNA. Mereka umumnya bekerja sebagai petani, peternak, dan buruh tani. Status WNI belum diurus sebab terkendala biaya. Itu sebabnya, PSMTI membantu mengurusinya. ”Apalagi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI memberikan kemudahan. Pemerintah daerah pun mendukung penuh,” kata Pauzi.

Tahun 2009, misalnya, telah diterbitkan status WNI bagi 179 orang. Tahun 2010 sebanyak 72 orang dan kini diproses lagi untuk 20 pemohon di Kementerian Hukum dan HAM. Meski demikian, Pauzi meyakini bahwa sekitar 5.000 warga Tionghoa di Sumsel masih berstatus WNA. Sekitar 80 persen di antaranya berusia 30 tahun ke atas serta sisanya 20 persen berusia 29 tahun ke bawah.

”Mereka masih kurang biaya sebab saat ini dipungut biaya Rp 500.000 per orang sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Biaya sebesar itu pasti memberatkan para WNA yang hidupnya masih miskin,” kata Pauzi.

Sumber : http://amrusujud.blogspot.com/2011/01/ironi-semangat-naturalisasi-wni.html

 : http://menujuhijau.blogspot.com/2011/01/ironi-semangat-naturalisasi-wni_04.html#ixzz1AKvkLTEM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar